WHITE ROSE

Sumber foto: Pinterest/Pernikdunia.com


Suara klakson kendaraan bersahutan, selaras dengan teriknya panas disertai debu yang bertebaran dimana-mana. Gerutu dan makian jajaran manusia yang tengah terjebak macet pun kian memperparah keadaan.


Bukannya mencari solusi malah membuang energi dengan melontarkan kata-kata kasar.


Bukankah dengan berteriak membuat mereka kian lapar dibuatnya? Manusia ini memang aneh, jika memikirkan solusi bisa mendapatkan jalan keluar, mengapa tidak?


Ditengah padatnya manusia, terdapat seorang gadis yang tengah naik ojek online dengan pandangan datarnya. Gadis itu berkali-kali mendengus kesal. Bukan karena kemacetan, melainkan suara bising yang kian menambah panas udara di sekitarnya.


“Mengapa orang-orang sangat berisik sekali? Bukankah mereka hanya cukup diam saja?”, batinnya.


Tak berselang lama, kemacetan mulai mereda hingga kendaraan dapat berjalan kembali. Berbagai umpatan dan teriakan orang-orang yang tidak memiliki rasa sabar pun kini sudah tidak terdengar lagi.


Mungkin benar yang dikatakan oleh orang-orang bijak, “manusia sabar itu langka, dan kebanyakan dari manusia tidak mau merasakan sedikit pun penderitaan.”

Semuanya harus berjalan baik tanpa ada hambatan, padahal sejatinya tidak ada yang demikian.


“Pak, tolong berhenti di sini sebentar, ya,” ucap gadis itu kepada sang driver yang langsung mengurangi laju motornya.


“Baik, Mbak. Memangnya Mbak ada perlu apa berhenti di depan toko bunga?” tanya sang driver yang kini telah menghentikan motornya dan memarkirkannya di tepi jalan.


“Menurut Bapak, saya ada perlu apa berhenti di toko bunga?”


Sang driver yang tadinya banyak bertanya Kim hanya mengulas senyum, membuat gadis itu ikut tersenyum sebelum menyerahkan helm yang baru saja dilepasnya.


Setelahnya, gadis itu mulai melangkahkan kakinya menuju toko bunga tersebut. Kini, perhatiannya hanya tertuju kepada satu bunga yang berhasil mencuri perhatian sejak pertama kali seseorang memberikan bunga tersebut kepadanya.


“Terlalu manis untuk mengenangnya, namun terlalu membekas untuk dilupakan. Apakah aku bisa bertemu denganmu nanti? Ah, sudahlah, melihatmu bahagia saja sudah cukup bagiku," batinnya seraya tersenyum simpul.


Tanpa sadar, ingatannya jatuh pada kejadian beberapa tahun yang lalu, di mana ia baru mengenal seseorang yang tidak pernah diduga sebelumnya.


Bahkan terlalu awal mengenalnya dan hanya mengetahui beberapa hal dari seseorang yang kini tengah ia pikirkan. Entahlah, benaknya penuh akan bayang sosok pria yang beberapa hari lalu menampakkan diri di layar kaca.


***


Kala itu pada bulan keenam di awal tahun yang berbeda. Tepat di mana paruh tahun telah dilaluinya dengan cepat, bahkan mungkin terasa berbeda dari tahun sebelumnya yang hanya berjalan dengan datar tanpa ada semangat menuju perubahan.


Tepat di pertengahan bulan kelima, ia mengenal lebih dalam lagi mengenai sosok pria yang sudah ia kenal selama dua bulan. Bukan waktu yang lama memang, namun cukup untuk membuatnya berubah menjadi lebih baik dan memiliki semangat baru yang sebelumnya tak pernah ia dapat di tempat lain.


Ia pernah mengatakan kepada pria itu, jika dirinya adalah seorang penulis yang juga bercita-cita sebagai seorang jurnalis dan presiden. 


Awal mengetahui jika keduanya menyukai bidang yang sama—jurnalis—malahan membuat mereka semakin dekat. Di satu sisi memiliki kecocokan, di sisi lain seperti mendapat teman diskusi yang tepat.


By the way, kamu tahu nggak, aku kuliah ambil jurnalistik,” ucap pria di hadapannya yang sontak membuatnya terkejut kala itu.


“Hah? Serius? Kamu nggak bohong, Ge?”


“Iya, ini aku lagi frustasi bikin berita. Capek nggak nemu-nemu event,” jelasnya.


Setelahnya, obrolan mereka pun berlanjut dengan topik yang sama. Hingga masing-masing dari mereka tak sadar jika telah menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk mengobrol di sebuah kafe yang hanya buka lima belas jam saja.


Di tengah asyiknya mereka berbagi dan bercerita mengenai pengalaman di bidang jurnalistik, seorang pelayan dengan senyum yang tak pernah sirna menghiasi bibirnya pun datang menghampiri mereka.


“Maaf mengganggu waktu mengobrolnya, tapi kafe kami akan segera tutup, Kak.”


Mendengar hal itu, mereka saling diam dan saling pandang sebelum akhirnya tawa mereka pecah karena tak sadar jika malam sudah terlalu larut untuk membiarkan mereka tetap singgah.


Setelahnya, mereka hanya meminta maaf karena tidak melihat jam dan segera membayar pesanan sebelum akhirnya kembali ke rumah masing-masing.


Sesampainya di rumah, ia benar-benar takut setengah mati lantaran jika orang tuanya mengetahui ia baru tiba di rumah pukul sepuluh malam, ia tak lagi diizinkan pergi keluar.


Beruntungnya ia tak ketahuan dan berhasil selamat hingga tiba di tempat paling nyaman baginya. Dengan cepat, ia segera bergegas membersihkan diri dan merebahkan diri di kasur empuknya sambil kembali mengingat serpihan kenangan bersama seorang pria yang ditemuinya tadi.


“Kalau kamu memang beneran suka jurnalistik, terus perdalam ya, asyik kok kalau suka. Aku dari kuliah ini aja bisa ketemu orang-orang penting. Bisa sekalian jalan-jalan, bisa ngerasain capeknya ngejar-ngejar orang, tapi bakal jadi orang pertama yang tahu perkembangan dunia,” ucap pria itu yang benar-benar membekas dan terus berputar di benaknya hingga ia terlelap dan berakhir memimpikannya.


***


“Ada yang bisa saya bantu, Mbak?”


Tepukan di pundak disertai dengan suara yang tiba-tiba membuyarkan lamunannya itu benar-benar mengejutkan.


 “Apakah saya mengejutkan, Mbak? Maaf, ya, saya tidak bermaksud,” ujar seorang wanita paruh baya dengan menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman manis yang mampu membuat gadis itu turut tersenyum.


“Tidak apa-apa, Bu. Saya cuma mau beli buket bunga yang itu,” ucapnya sambil menunjuk ke salah satu bunga yang sudah mencuri perhatiannya sedari tadi.


“Wah, untuk pacarnya ya, Mbak?”


Gadis itu tertawa kecil. Ia menggelengkan kepalanya dan hanya menanggapi pertanyaan dari Ibu penjaga toko dengan senyum yang mengembang sempurna menghiasi paras ayunya.


“Tunggu sebentar ya, Mbak.”


Gadis itu hanya mengangguk, dan lagi-lagi ia kembali terhanyut dalam lamunan yang serupa seperti sebelumnya. Masih dengan perihal orang yang sama, dan alasan mengapa ia berada di toko bunga.


***


Bagi sebagian orang kegagalan adalah hal yang wajar. Namun, bagi gadis yang kini kehilangan senyumannya, kegagalan adalah hal yang dapat membuatnya jatuh. Baru kali ini ia mengalami kegagalan secara bertubi-tubi, dan itu jelas membuatnya benar-benar jatuh. Bukannya memberi semangat, pria di hadapannya justru menertawakannya yang tengah menangis.


“Kok kamu ngeselin kayak papa sih?” ucap gadis itu di sela-sela tangisnya.


Tanpa ia duga, pria yang sedari tadi menertawakannya kini berlutut sambil meraih kedua telapak tangannya. Pria itu tersenyum sambil berkata, “Ay, jangan sedih, oke? Kamu bukan nggak bagus, tapi kamu cuma belum beruntung. Kalau masih mau di sini, ikut lagi aja, aku nunggu kamu. Kalau emang nggak mau nggak apa-apa, cukup jadi pasangan yang baik aja buat aku.”


“ I love you,” lanjut pria itu yang kini telah berdiri kembali dan merengkuh gadis itu dalam pelukannya.


Tiba-tiba, seseorang datang mendekat ke arahnya sambil membawa setangkai mawar putih. Ia pun lantas mengakhiri sesi pelukannya dengan pria yang tadi sukses menjadi penenangnya.


“Zora tetap semangat ya. Walaupun nggak keterima, kamu tetap jadi pemenang di hatinya Gerald. Nanti ikut lagi aja, biar ketemu sama saya lagi. Semangat Zora!” ujar seseorang yang tadi mendekatinya.


“Dapat salam sama bunga juga dari Gerald. Salamnya, semangat, love you,” lanjutnya sambil memberikan setangkai mawar putih yang langsung diterima oleh gadis itu dengan senyum yang merekah indah menghiasi wajahnya itu.


“Makasih ya, Hun. Makasih juga, Ge.”


Ia pun memeluk kembali pria yang lagi-lagi dapat menjadi obat dikala hatinya sedang tak baik seperti saat ini. Tangis harunya pun pecah. Kesedihan yang ia alami berubah menjadi ketenangan yang mampu membuat hatinya menghangat.


***


“Ini buket mawar putihnya, Mbak,” ucap Ibu penjaga toko tersebut sambil memberikan sebuket mawar putih yang langsung diterimanya.


Ia lantas membayarnya dan segera kembali menghampiri driver ojek online yang masih setia menunggunya di tepi jalan.


“Sudah beli bunganya, Mbak? Mau langsung lanjut ke tempat tujuan atau mampir-mampir lagi?” tanya sang driver sambil menyerahkan helm kepadanya.


“Langsung ke tempat tujuan saja, Pak, takut telat,” jawabnya sambil menerima helm tersebut dan mengenakannya dengan benar.


***


Suatu keputusan yang salah bisa saja terjadi ketika lelah, atau sekadar karena tertekan oleh keadaan sekitar. Walaupun berat, namun ia berpikir jika hal tersebut akan segera berlalu, dan hari-harinya akan kembali seperti dulu. Namun ternyata salah.


Hari-hari yang berat justru menunggunya di depan. Tangisan rindu dan berbagai tamparan kenyataan membuatnya menyesal. Ia memilih pergi, bahkan lebih jauh dari sebelumnya.


Dua pekan setelah mengakhiri hubungan, ia tak lagi menampakkan batang hidungnya. Hanya karena salah paham dan berbagai pemikiran buruk, serta banyaknya provokasi yang didapat mampu membuatnya salah langkah. Kini ia pergi terlalu jauh, bahkan tak pernah kembali ke tempat yang sama.


“Sebenernya aku mau bilang ini ke kamu besok- besok aja, tapi kayaknya nggak bisa deh. Aku nggak mau buat kamu nunggu lama, gimana kalo kamu nyari yang lain aja, Ge?” itulah kalimat yang ia lontarkan kepada pria yang kini benar-benar terkejut setelah mendengarnya.


“Ini jadi kamu mutusin aku?” tanya sang empu yang hanya ia jawab dengan anggukan dan tatapan sendunya.


“Aku mau mutusin kamu karena aku nggak mau buat kamu nunggu.”


Setetes air matanya meluncur tanpa aba-aba. Dengan sigap, pria di hadapannya itu menghapusnya. Ia tersenyum, begitu pun dengan pria itu.


“Sedih nggak, Ra?" ia mengangguk. “Aku juga sedih. Aku belum bisa bahagiain kamu. Semangat ya, Ra!” lanjut pria di hadapannya yang kini kembali merengkuhnya dalam pelukan.


Ia tak pernah mengira jika setelahnya hari-harinya terasa sangat berat dan tak pernah melihat kehadiran pria itu kembali. Mereka tak pernah berkomunikasi lagi, hingga suatu hari ia melihat pria yang teramat sangat ia rindukan menampakkan dirinya di layar kaca.


***


“Benar ini kan tempatnya, Mbak?” tanya sang driver tatkala mereka telah tiba di tempat tujuan.


“Benar, Pak. Terima kasih banyak, ya,” jawabnya sambil menyerahkan helm dan uang pas sesuai dengan harga yang tertera pada aplikasi.


Zora bergegas menuju seminar yang baru saja dimulai itu. Gadis itu sengaja memilih duduk di kursi paling belakang karena tak ingin pria yang selalu ia rindukan mengetahui keberadaannya.


Ia memandangi pria itu cukup lama, bahkan kata demi kata yang pria itu lontarkan di depan sana mampu ia ingat dengan jelas. Sejauh ini pria itu tak mengetahui kehadirannya hingga pandangan mereka tak sengaja bertemu di detik-detik terakhir acara.


Sepersekian detik pria itu sedikit terkejut, namun mampu mengembalikan fokusnya hingga acara benar-benar berakhir. Tanpa Zora duga, tatkala ingin menghampiri pria itu di depan sana, justru pria itu lebih dulu berjalan ke arahnya.


 “Apa kabar?” tanya Zora.


Pria itu terdiam. Zora pun memberikan sebuket mawar putih yang tadi dibeli kepada pria yang kini masih terdiam di tempat.


“Jika dulu kamu memberikanku setangkai mawar putih, sekarang aku akan memberimu sebuket mawar putih. Selamat atas keberhasilanmu menjadi jurnalis hebat seperti apa yang kamu harapkan dulu,” lanjutnya dengan senyum yang masih sama seperti dulu.


Pria itu menerima buket mawar putih yang diberikan. Pandangannya masih datar, seperti tak ada rasa bahagia yang menghinggapi hatinya seperti yang gadis di hadapannya rasakan.


“Aku marah,” ucap pria itu setelah sepersekian lama bungkam.


“Aku tahu. Boleh aku jelaskan kepadamu?”


Mendengar hal itu, pria itu mengangguk.


“Tidak semua hal yang kamu pikirkan itu benar. Sama halnya seperti diriku ketika mengambil keputusan. Jika aku benar-benar ingin meninggalkan, bukankah mawar putih ini mampu menjadi sebuah bantahan?”


Pria itu menggelengkan kepalanya bersamaan dengan senyum yang mulai terbit di bibirnya.


“Kamu masih mengingatnya?”


Zora mengangguk.


“Bahkan aku masih mengingat dengan jelas perkataanmu dulu. Kamu pernah bilang, kalau kamu memang beneran suka jurnalistik, terus perdalam ya, asyik kok kalau suka. Sekarang aku benar-benar mencobanya, dan aku ingin sekali menjadi sepertimu, Ge. Bahagia selalu, ya?”


Pria itu mengangguk, lantas membawa Zora ke dalam pelukannya. “Masih sama seperti dulu,” batinnya.


“Kamu juga bahagia selalu, Zora.”


Gadis yang dipanggil Zora itu pun mengangguk. Kini terbayarkan sudah kerinduannya, walaupun bulir-bulir air matanya mulai luruh membasahi pipinya.


Tangis haru itu adalah bukti jika selama ini ia tak pernah benar-benar melupakan seorang pria yang selalu menjadi penyemangatnya, Gerald Athafariz Nazril Ibrahim.


“Terima kasih banyak Tuhan, karena Engkau dapat mempertemukan kami kembali, dan telah menjaganya dengan baik.”


-PatahanPena


Posting Komentar

17 Komentar